HIV/AIDS dan Pekerja Migran di Hong Kong
Penyebaran HIV tidak pandang bulu. Tidak hanya Negara berkembang yang menjadi sasaran, namun Negara yang lebih mapan seperti Hong Kong pun tak lepas dari ancaman penyakit virus yang mematikan ini.
Pada Tahun 2006, sejumlah 373 kasus baru terdaftar pada Departemen Kesehatan Hong Kong SAR; suatu rekor jumlah terbesar yang pernah tercapai di Hong Kong. Angka ini merupakan peningkatan 19% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 313 kasus terdaftar. Total kumulatif kasus dari sejak 1984 hingga 2006 adalah sebanyak 3,198 tercatat terinfeksi HIV.
Perilaku seksual yang berisiko masih merupakan faktor utama penyebaran HIV di Negara ini. Pada tiga bulan terakhir dari tahun 2006 saja, yakni dari bulan Oktober 2006 hingga Desember 2006, tercatat 98 kasus baru.
Dari 98 kasus tersebut, 23 orang terinfeksi melalui kontak seks berbeda kelamin; 30 orang melalui kontak seks dengan sesama kelamin; 16 orang melalui injeksi narkoba, dan dua melalui penularan selama proses kelahiran; sisanya, 27 kasus, tidak diketahui karena informasi yang tidak cukup memadai. Dari 98 kasus ini, 83 kasus terjadi pada pria dan 15 pada wanita.
Masuk Kuartal Ketiga, Penderita HIV Baru di Hong kong Didominasi Dari Pasangan Sejenis
Survey yang diadakan oleh St. John’s Cathedral HIV Education Centre menyimpulkan bahwa terdapat kaitan yang erat antara perpindahan (migrasi) dengan HIV, sebagai contoh: dari seluruh warga Filipina yang terinfeksi HIV,28% adalah para buruh yang baru kembali bekerja dari luar negeri. Di Bangladesh, sekitar 41% orang yang terinfeksi HIV adalah merupakan pekerja migran.
Sensus yang diselenggaakan oleh pemerintah Hong Kong pada tahun 2001 menyatakan bahwa pekerja migran yang tinggal menetap di Hong Kong dalam suatu periode waktu kontrak tertentu berjumlah 50,494 jiwa dari total jumlah 343,950 penduduk Hong Kong non-etnis Cina. Angka tersebut menempati urutan kedua setelah pekerja Filipina.
Dapat dipastikan bahwa saat ini struktur jumlah tersebut meningkat pesat. Sebagian besar buruh migran yang datang dari Indonesia berprofesi sebagai wanita pembantu rumah tangga yang sejauh ini jumlahnya selalu meningkat setiap tahunnya.
Kelompok profesi pekerja ini berpeluang terpapar pada HIV pada saat mereka mendapatkan cuti mingguan, karena pada hari tersebut mereka mendapatkan kesempatan penuh untuk berinteraksi bebas dengan lingkungan luar. Pada saat liburan, para buruh migran wanita ini berkumpul bersama teman-temannya, baik teman wanita ataupun teman prianya.
Beberapa diantara mereka bahkan menjalin hubungan khusus dengan teman prianya, yang tidak jarang pula bahwa teman prianya ini adalah juga seorang buruh migran, sehingga risiko terpapar pada virus menjadi lebih tinggi.
Begini Pesan Terakhir SN, Eks PMI Hong Kong Yang Menjadi ODHA Sebelum Tutup Usia
Kasus lain yang banyak dilaporkan terjadi adalah adanya tenaga kerja wanita menyeberang ke Macau menjadi pekerja gelap. Lamanya mereka berada disana tergantung dari sampai kapan aparat hukum menemukan mereka. Sebagai risikonya, biasanya mereka di deportasi ke tanah air. Namun hal ini tidak membuat jera, karena saat mereka dideportasi, mereka telah mengantungi uang yang cukup banyak.
Perlunya Pendidikan yang Memadai dan Berkesinambungan bagi Pekerja Migran St. John’s Cathedral HIV Education Centre saat ini merupakan satu-satunya badan berbasis relijius yang bergerak dalam program pencegahan dan edukasi yang salah satu programnya menyasar pada kalangan pekerja migran.
Elijah Fung, manajer programnya, menyatakan bahwa program yang mereka laksanakanmencakup penyelenggaraan seminar, publikasi media cetak, aktivitas penjangkauan serta Festival AIDS untuk memberi dukungan pada pekerja migran dengan pembekalan pengetahuan, kemampuan dan perolehan dukungan sosial.
Menurut Elijah, hingga saat ini belum ada pekerja migran yang memanfaatkanlayanan hotline yang mereka sediakan untuk meminta advis dan rujukan.
Hal ini, bagi tenaga kerja wanita, terutama disebakan oleh pola komunikasi yang sudah terbentuk lama bahwa biasanya mereka akan meminta advis dari majikanterlebih dahulu.
Karena Kebablasan Di Negeri Beton, Secara Medis, Hidup SN Tinggal Menghitung Hari
Beberapa kasus malah tidak melaporkan ke siapapun hingga majikan menemukan gejala pada pekerjanya. Selain itu, HIV tidak menunjukan gejala yang terlihat sebelum sampai pada tahap AIDS, yakni sekitar 8 – 10 tahun kemudian.
Di lain pihak, kontrak kerja pekerja wanita berlaku hanya dua tahun untuk setiap periode kontraknya. Jika pekerja wanita ini terpapar di Hong Kong ketika melaksanakan kontrak kerja selama dua tahun, maka tahap AIDS baru akan terdeteksi ketika ia sudah kembali ke Indonesia 6 – 8 tahun kemudian!
Oleh karena itu sudah saatnya bagi pemerintah Indonesia untuk memikirkan suatu cara penanggulangan yang efektif untuk menghadapi potensi persoalan ini. Apalagi mengingat bahwa tenaga kerja wanita adalah sumber daya penghasil devisa negara terbanyak. []
Penulis : Hendra Hendarin