“Melawan” Dengan Tulisan, Kisah PMI yang Menggunakan Medso untuk Advokasi
JAKARTA – Sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Singapura, Novia Arluma dibayar sesuai standar. Dia mendapat libur sehari dalam sepekan, serta juga bebas berorganisasi dan berserikat.
Namun kegiatannya sebagai sukarelawan di sebuah NGO sejak 2014 membuat perempuan asal Lumajang itu tersadar, tak semua pekerja migran punya kesempatan seperti dirinya.
Banyak di antara mereka yang tidak mendapatkan upah sesuai standar dan hak libur kerja.
Padahal tanpa libur, mereka tak memiliki kesempatan untuk keluar sehingga jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan mereka sulit mendapatkan pertolongan.
Mereka juga kehilangan peluang untuk bercengkerama dan merilis beban psikologis bersama teman.
Hal itu membuat Novia tergerak untuk mengidentifikasi persoalan dan menuliskan hasilnya di media sosial.
Dia berharap, banyak pekerja migran yang belajar dan tidak mengalami masalah yang sama.
“Dari pengalaman mendampingi pekerja migran yang bermasalah, saya mengidentifikasi bahwa permasalahan yang diadukan serupa dari waktu ke waktu. Yang paling utama soal hak libur kerja. Hal ini membuat saya terpantik untuk menulis,” kata Novia yang bekerja sebagai PRT di Singapura sejak 2006.
Media sosial Facebook dipilih karena dianggap fleksibel.
Hampir semua pekerja migran mengakses media sosial tersebut.
Selain berbagi informasi tentang kasus yang menimpa pekerja migran, dia juga menggunakan kanal itu untuk mengunggah kebijakan terbaru terkait PRT di Singapura serta menyampaikan kritik kepada pengambil kebijakan.
Di-share Ribuan Kali
“Saat ada pekerja migran Myanmar yang bunuh diri, saya menulis surat terbuka. Tulisan itu di-share hingga ribuan kali. Bahkan dikutip oleh media Singapura,” kenang Novia yang sejak 27 Juni lalu fokus mengelola IP2MI (Ikatan Persaudaraan Pekerja Migran Indonesia).
Organisasi yang disokong oleh International Domestic Worker Federation (IDWF) ini ditujukan untuk menumbuhkan bibit-bibit baru yang bisa menyuarakan hak pekerja migran, khususnya PRT.
Sayang, media sosial itu akhirnya hilang. Akunnya tidak bisa diakses.
Novia pun beralih menggunakan blog penanovia.id sebagai penyambung suara.
Dia mengakui, saat ini banyak kebijakan yang mulai berpihak pada pekerja migran.
Sayangnya tak semua pekerja migran paham.
Dia mencontohkan, masih banyak pekerja migran yang tak mengetahui bahwa Singapura sejak 2013 telah mewajibkan pemberi kerja untuk memberikan hak libur sehari dalam sepekan kepada buruh migran.
Bahkan, sebagaimana yang ditulis Novia di laman penanovia.id, saat ini Kementerian Ketenagakerjaan Singapura (MOM) telah mengeluarkan kebijakan baru, yaitu larangan bagi majikan untuk mengganti hari libur dengan upah pengganti.
Ini berarti hak libur wajib diberikan, dan selain itu MOM juga akan melakukan kunjungan secara berkala untuk memastikan kondisi tenaga migran.
Bagi Novia selain untuk menyuarakan ketimpangan, menulis juga untuk mengimbangi stigma negatif terhadap pekerja migran.
Dia berharap, meski tulisannya tidak bisa dengan serta-merta mengubah kebijakan, setidaknya dia telah menyuarakan aspirasi pekerja migran.
“Even if I can not change policies, I will still happy to contribute towards protecting my fellow MDW’s (Bahkan jika saya tidak bisa mengubah kebijakan, saya akan tetap bahagia karena bisa turut berkontribusi melindungi rekan-rekan PRT),” demikian kata Novia sebagaimana tertulis di laman salah NGO yang menasbihkannya sebagai tokoh perubahan (the changemaker). []
Sumber Suara Merdeka