April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Menyelami Tanggungjawab Penguasa dalam Mewujudkan Tujuan Negara

11 min read

JAKARTA –  Indonesia baru saja dinyatakan turun kelas oleh Bank Dunia (World Bank), dari kelompok negara berpendapatan menengah atas (Upper-middle income) menjadi negara berpendapatan menengah bawah (Lower-middle income). Padahal baru setahun lalu Indonesia mengalami kenaikan kelasnya.

Sementara Malaysia masih unggul dari Indonesia, dan berada di kelas menengan, dengan 10.600 dollar AS (Rp154 juta) per kapita, bersama dengan Thailand 7.100 dollar AS (Rp103 juta) per kapita.Di lingkungan Asean, Negara yang memiliki pendapatan tertinggi adalah Singapura dengan GNI 54.900 dollar AS (Rp798 juta) per kapita.

Kini posisi Indonesia sama dengan Haiti, negara kecil di kepulauan Karibia.Data PBB pada 2020 mengungkapkan, Negara Haiti berpenduduk 11,4 juta jiwa dimana 40 persennya hidup di bawah garis kemiskinan yaitu sekitar 6 juta.

Dengan menurunnya peringkat Indonesia, berarti menurun juga tingkat kesejahteraan rata rara penduduk Indonesia. Karena faktualnya memang banyak penduduk yang terkena PHK atau bangkrut usahanya sehingga mengurangi pendapatannya.

Turunnya peringkat Indonesia dari kelompok negara berpendapatan menengah atas ke menengah kebawah disebut sebut sebagai akibat dari dampak pandemi virus corona. Tetapi sebenarnya serangan virus corona bukan hanya menimpa Indonesia melainkan hampir seluruh negara di dunia. Sehingga tidak tepat kiranya kalau kemudian menjadi pandemi virus corona sebagai biang keladinya.

Karena meskipun diserang wabah corona toh ada juga negara yang berhasil mempertahankan kelasnya atau bahkan bisa naik kelas menjadi negara yang mampu meningkatkan pendapatan per kapita penduduknya seperti Tajikistan dan Moldova misalnya.

Dalam kondisi sebagaimana dikemukakan diatas, siapa sesungguhnya yang paling bertanggungjawab untuk mengembalikan posisi Indonesia menjadi negara yang menduduki peringkat menengah keatas seperti posisi semula? Seperti apa peranan kekuasaan dalam upaya mencapai tujuan negara dimana salah satunya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyatnya?

Tanggungjawab Negara Mewujudkan Kesejahteraan

Dengan turunnya peringkat Indonesia menjadi negara kelas menenga dan kebawah yang berarti menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia, tentunya harus ada pihak yang musti menjadi penanggungajwabnya.

Seringkali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara manakala ada suatu masalah yang terjadi langsung muncul ungkapan bahwa hal itu merupakan tanggungjawab kita bersama. Ungkapan “tangggungjawab kita bersama” ini sebenarnya hanya upaya untuk mengaburkan substansi masalahnya dan sekaligus pesan terselubung untuk menyatakan tidak adanya pihak yang bertanggungjawab terhadap permasalahan yang dipersoalkannya.

Pada hal dalam kehidupan bersama dalam suatu negara ada pembagian peran dan fungsi masing masing sesuai dengan mandat yang dimilikinya. Ini karena lahirnya suatu negara terjadi karena adanya perjanjian masyarakat untuk sepakat mencapai tujuan bersama.

Dalam konteks ini masyarakat adalah pemilik kedaulatan yang kemudian menyerahkan kedaulatan tersebut kepada negara , sebab masyarakat tidak mungkin melaksanakan pemerintahan sendiri melainkan diserahkan kepada penguasa (negara ) guna melaksanakan fungsi pemerintahan/melaksanakan undang-undang yang dibuat bersama.

Ketika suatu masyarakat telah menyatakan diri untuk hidup bernegara maka masyarakat tersebut berarti telah memberikan kekuasaan kepada negara. Kekuasaan tersebut diberikan kepada negara supaya menjadi modal bagi negara dalam mencapai tujuan negara, yang pada hakekatnya adalah tujuan bersama masyarakat yang telah menyerahkan kedaulatannya.

Dalam perspektif negara demokrasi, untuk mencapai tujuan negara tersebut kekuasaan negara diselenggarakan oleh orang yang dipilih oleh masyarakat, sehingga hal yang paling nyata dalam penyelenggaraan kekuasaan negara tersebut adalah orang, baik sebagai orang pribadi atau orang dalam pengertian secara kolektif kolegial sebagai suatu kesatuan penyelenggara negara. Dengan kata lain, pemegang kekuasaan negara sejatinya adalah orang juga yang merupakan wakil wakil masyarakat yang dipercaya untuk menjadi penyelenggara negara.

Dapatlah dianalisa, bahwa berdasarkan teori-teori kenegaraan sepanjang zaman, ada fungsi negara yang bersifat universal, yakni kewajiban negara untuk mewujudkan kepentingan umum, tidak peduli dengan bentuk atau sistem pemerintahan yang digunakannya

Selanjutnya untuk menjalankan fungsi fungsi negara dibentuk suatu pemerintahan dalam suatu negara. Sehingga pemerintahan adalah suatu badan di dalam negara yang tidak berdiri sendiri, melainkan bersandar kepada rakyat sang pemilik kedaulatan yang sesungguhnya. Dengan konstruksi pemikiran seperti ini maka kemauan yang dimiliki oleh pemerintah seyogyanya adalah representasi dari kemauan masyarakat yang notabene sebagai sang pemilik kedaulatan yang sebenarnya.

Dalam konteks demikian terkandung pengertian bahwa pemerintah terdiri sekelompok manusia tertentu yang dipercaya oleh rakyat untuk menjalankan agendanya.Sehingga apa apa yang dilakukan Pemerintah sepantasnya harus sesuai dan mencerminkan kehendak masyarakat yang berarti ada kewajiban bagi pemerintah atau penguasa untuk selalu mengusahakan agar kepentingan masyarakat menjadi tujuan utama.

Dengan demikian Pemerintah itu pada hakekatnya adalah sebagai alat untuk bertindak demi kepentingan rakyat, untuk mencapai tujuan bersama yaitu negara yang telah disepakati bersama. Dalam konteks negara kesatuan republik Indonesia, tujuan bersama itu sebagaimana tertuang dalam Alinea ke IV Pembukaan UUD Tahun 1945.

Untuk dapat bertindak dengan sebaik-baiknya guna mencapai tujuan tersebut, pemerintah mempunyai wewenang yang dibagikan lagi kepada alat-alat kekuasaan negara, agar tiap sektor tujuan negara dapat dikerjakan secara bersama sama. Berkenaan dengan pembagian wewenang ini, maka terdapatlah pembagian kekuasaan tugas negara kepada alat-alat kekuasaan negara.

Guna mencapai serta mewujudkan tujuan negara tersebut diperlukan sarana-sarana. Sarana-sarana ini dapat berbentuk manusia bisa juga berbentuk benda, seperti benda bergerak, benda tetap, modal/uang atau yang lainnya

Hubungan hukum antara negara dengan sarana yang berbentuk manusia ini menimbulkan kaidah hukum kepegawaian, sedangkan hubungan hukum antara negara dengan sarana yang berbentuk benda menimbulkan kaidah hukum tentang hak milik negara. Dalam kaitan ini pejabat negara merupakan aparat negara yang menjalankan pekerjaan tetap yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara.

Dengan perkataan lain para pejabat melaksanakan sebagian hak dan kewajiban negara dalam rangka menuju kepada tujuan akhir dari negara Para pejabat merupakan sarana bagi negara guna mewujudkan tujuannya, dalam Hukum Administrasi Negra disebut Aparat Negara. Aparat Negara inilah yang melaksanakan wewenang negara.

Apabila mengikut pendapat Montesquieu wewenang yang ada dalam negara dapat dibedakan dalam tiga golongan, yakni wewenang legislatif (legislatif power), wewenang eksekutif (executif power), wewenang judicatif (judicative power), Ajaran ini oleh Emanuel Kant disebut Trias Politica.

Pemisahan kekuasaan sesuai dengan teori Trias Politika juga berpengaruh pada struktur ketatanegaraan di Indonesia yang diciptakan menurut UUD 1945. Dikatakan berpengaruh, karena Indonesia tidak menganut sepenuhnya teori Trias Politika dalam arti pemisahan kekuasaan. Di Indonesia memang ada kekuasaan-kekuasaan (fungsi- fungsi) yang mirip dengan apa yang diciptakan dalam Trias Politika yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Di negara Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945, bentuk pemerintah (eksekutif) ini adalah Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dengan para Menteri Negara sebagai pembantu Presiden dan jabatan-jabatan bawahan lainnya.Fungsi Pemerintah (dalam arti sempit) adalah melaksanakan apa yang telah dituangkan dalam peraturan perundangang produk dari kekuasaan legislatif. Termasuk kedalam barisan jajaran eksekutif adalah lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung dan KPK.

Lembaga Legislatif adalah sebuah lembaga yang mewakili seluruh rakyat dalam menyusun undang-undang serta ikut mengawasi implementasi undang-undang yang ada oleh badan eksekutif. Setiap anggota lembaga legislatif dipilih melalui pemilihan umum (pemilu) dan langsung dipilih oleh rakyat. Yang sering dimasukkan kategori sebagai lembaga legilatif adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Adapun Lembaga yudikatif mempunyai tugas untuk menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum secara berkeadilan yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Lembaga yudikatif itu adalah : Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).

Dalam negara hukum yang modern, fungsi Pemerintah (dalam arti luas yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif ) adalah untuk mencapai tujuan negara. Sehingga fungsinya tidak terbatas hanya sebagai penjaga ketertiban saja akan tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mensejahtrakan rakyatnya (walfare state) yang merupakan salah satu tujuan utama berdirinya negara kesatuan republic Indonesia.

Kebetulan Indonesia adalah salah satu negara yang bertife welfare state, atau negara kesejahteraan sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 (pembukaan, alinea ke-empat) dimana dikatakan bahwa tujuan pembentukan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu salah satu sila dari Pancasila sebagai dasar falsafah negara (sila ke lima) adalah keadilan sosial yang berarti tujuan negara adalah menuju kepada kesejahteraan untuk seluruh warga negara Indonesia.

Dalam rangka mensejahterakan masyarakat ini, terjadilah hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang erat antar pemerintah dengan rakyatnya. Dengan perkataan lain pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat (public service) guna mencapai tujuan negara yaitu mensejahterakan rakyatnya.

Dengan konstruksi pemikiran sebagaimana disebutkan diatas kiranya menjadi jelas tanggungjawab negara atau pemerintah dalam mencapai tujuan negara yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Alhasil kalau kemudian tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia saat ini menurun ditandai dengan menurunnya peringkat Indonesia menjadi negara level menengah kebawah maka menjadi jelas siapa penanggungjawabnya. Tentunya adalah pemerintah khususnya pemerintah dalam arti sempit (eksekutif) yang diberi mandat oleh ketentuan perundang undangan sebagai pihak eksekutornya.

 

Hakekat Kekuasaan

Indonesia sudah hampir 76 tahun usianya. Namun dalam usia yang mendekati hampir satu abad itu, tujuan negara sebagaimana tertuang di pembukaan UUD 1945 masih menjadi cita cita belaka

Belum semua anak anak bangsa merasakan hidup sejahtera sebagaimana tujuan negara yang terguang dalam pembukaan UUD 1945. Pada hal untuk mencapai tujuan negara tersebut masyarakat telah menyerahkan mandat kedaulatannya (melalui Pemilu) kepada penguasa yaitu pemerintah yang sedang berkuasa.

Bahkan ditengah pandemi virus corona seperti yang terjadi saat ini, tingkat kesejahteraan rakyat cenderung terus menurun sehingga semakin menyusahkan kehidupan mereka. Kiranya tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa semua ini terjadi karena pemerintah telah gagal melaksanakan mandat yang telah diberikan kepadanya untuk mensejahterakan rakyatnya.

Kegagalan yang terjadi bisa disebabkan oleh banyak faktor dimana salah satu penyebab utamanya karena mereka yang sedang memegang kekuasaan gagal memaknai hakekat kekuasaan yang melekat pada dirinya.

Mereka yang sedang diberikan mandat untuk berkuasa sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat mulia. Bahkan dalam konteks spiritualitas agama berdasarkan referensi teologis, seorang penguasa merupakan “wakil” Tuhan di dunia.Ia adalah mandataris Tuhan (khalifah) yang mengemban tugas suci dan mulia.

Guru besar UIN Jogjakarta, Abdul Munir Mulkhan, menyebut kekuasaan itu bukan sekadar wilayah materiil untuk menduduki sebuah jabatan, seperti presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota, atau semacamnya. Akan tetapi kekuasaan yang memiliki kewenangan politik diperlukan ranah spiritual sebagai ruh, sebagai energi yang membuat kekuasaan menjadi dinamis, indah, memiliki vitalitas dan daya hidup, pengikat komunitasnya.

Menurutnya, menduduki jabatan bukan untuk membungkam lawan politiknya atau orang-orang yang tidak disukainya. Sebaliknya, kekuasaan adalah harmonisasi untuk menyatukan beragam komunitas bagi tujuan kemanusiaan yang lebih besar dari sekadar kepentingan fisik dan materiil semata.

Oleh karena itu dalam konteks spiritual, seorang penguasa harus mampu menjadi pengayom semua elemen sosial, bahkan menjadi pelindung bagi kehidupan sekitarnya, termasuk lingkungannya. Artinya, orang yang memiliki kekuasaan harus mampu mengarahkan apa yang dikuasai menuju kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai spiritual dalam statusnya sebagai “wakil” Tuhan di dunia.

Sebagai “wakil “ Tuhan di dunia tentu saja seorang penguasa seyogyanya merepresentasikan sifat sifat Tuhan yang pengasih dan penyayang, cinta keadilan, cinta kedamaian, kesejahteraan dan sebagainya.

Selain sebagai “wakil” Tuhan di dunia, seorang yang mempunyai kekuasaaan pada hakekatnya adalah pemegang amanah (kepercayaan ) yang diperoleh dari orang / masyarakat yang diwakilinya. Amanah bermakna suatu kepercayaan, sehingga ketika seorang penguasa sudah mendapatkan amanah dari rakyatnya sudah semestinya ia teguh melaksanakan amanah yang dititipkan kepadanya.

Karena amanah atau kepercayaan itu sangat tinggi nilainya lebih tinggi dari jiwa maupun harta. Sampai sampai ada pepatan Jawa mengatakan: “kehilangan harta tidak berarti kehilangan apa apa. Kehilangan nyawa hanya kehilangan separo makna sebagai manusia tetapi kehilangan amanah (kepercayaan) berarti kehilangan segala galanya.

Biarpun seorang penguasa itu mempunyai harta yang luar biasa banyaknya atau rangkap nyawa, tetapi kalau kehilangan kepercayaan / amanah berarti secara hakekat ia telah kehilangan segala galanya karena berarti sebagai manusia ia telah kehilangan harga dirinya. Kalau seseorang sudah kehilangan harga dirinya untuk apa ia hidup didunia ?

Selain ada unsur keilahian dan bersifat amanah, seorang penguasa pada hakekatnya adalah pelayan bagi rakyat yang telah memberikan mandat / kepercayaan kepadanya. Sebagai pelayan rakyat maka dibutuhkan i jiwa pelayan, dibutuhkan hati yang melayani, hati yang cenderung untuk membantu pihak lain tanpa ada keinginan atau perasaan sebaliknya misalnya minta imbalan jasa dan sebagainya.

Di sinilah integritas diperlukan untuk aksi-aksi pelayanan para penguasa. Dalam hal ini, Islam telah memberikan panduan agar apa yang dibicarakan sesuai dengan apa yang yang dikerjakannya. Salah satu ayat Alquran menegaskan: Kabura maqtan ‘indallahi antaquuluu maalaa taf‘aluun (Sangatlah besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan/QS As-Shaf: 3). Ini berarti seorang penguasa (pejabat) harus memiliki konsistensi antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilaksanakannya.

Akhir-akhir ini ramai dibicarakan adanya penguasa yang mendapatkan gelar atau julukan julukan yang tidak mengenakkan dari mahasiswa karena laku perbuatannya. Kalau seorang penguasa sudah mendapatkan julukan julukan seperti itu secara hakekat sebenarnya ia sudah hilang marwah kepemimpinannya karena tidak bisa lagi dipercaya.

Saat ini sudah hampir 76 tahun kita merdeka ternyata tujuan negara belum tercapai juga tentu salah satunya karena para pemegang kendali kekuasaan gagal memaknai hakekat kekuasaan yang melekat pada dirinya sehingga pada akhirnya berimbas pada laku kebijakan kebijakan yang diambilnya. Mungkin dikiranya kekuasaan yang didapatnya itu merupakan cek kosong yang dengan seenaknya bisa diisi nominalnya.

 

Terjadinya Penyimpangan

Kegagalan memaknai hakekat kekuasaan memang telah berimbas pada laku kebijakan yang diambil oleh penguasa sehingga berimbas pula kepada rakyatnya. Rakyat pada akhirnya merasakan dampak negatif dari kebijakan kebijakan yang diambil oleh seorang penguasa.

Saat ini ditengah pandemi virus corona, kita menyaksikan dengan kasat mata aneka penyimpangan terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mulai rusaknya tatanan kehidupan ketatanegaraan sampai dengan munculnya aneka masalah sosial, politik, hukum, ekonomi dan budaya.

Dibidang sosial telah terjadi kesenjangan sosial yang semakin menganga. Perbedaan (jurang pemisah) antara yang kaya dan yang miskin sudah demikian terasa. Ada segelintir anak anak bangsa yang menguasai begitu banyak sumberdaya alam sementara sebagian besar hanya menjadi penonton saja.

Dibidang politik, dunia politik dikendalikan oleh sekelomok orang (oligarkhi) yang menguasai dunia poltik karena kekuatan modalnya. Mereka dengan pengaruh dan uangnya bisa menentukan siapa siapa yang akan menjadi penguasa di suatu wilayah yang ujung ujungnya berkuasa pula untuk sektor lainnya.

Dibidang hukum, sudah dimaklumi bersama bahwa hukum cenderung tumpul keatas tajam kebawah sehingga keadilan semakin sulit didapatkan oleh mereka yang tidak mempunyai akses kekuasaan atau materi di tangannya. Ada masalah hukum yang kecil derajat kesalahannya bisa dibesar besarkan seolah olah sangat gawat peristiwanya tapi ada juga masalah hukum yang sebenarnya sangat besar dikecil kecilkan seolah olah pelanggaran hukum biasa. Penegakan hukum sangat ditentukan oleh mereka yang diberikan mandat untuk penegakan hukumnya.

Munculnya banyak permasalahan bangsa mulai dari meningkatnya angka pengangguran, bertambahnya kemiskinan, penambahan utang negara yang luar biasa besarnya, korupsi yang merajalela dan permasalahan permasalahan lainnya pada hakekatnya merupakan cermin dari kegagalan penguasa dalam menjalankan amanat rakyatnya.

Di tengah kehidupan rakyat yang kurang beruntung karena pandemi virus corona, memang masih terlihat penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya. Mereka memanfaatkan jabatan itu hanya untuk kepentingan diri dan kelompoknya dan tidak memikirkan nasib rakyat yang menjadi tanggungjawabnya.

Mereka seolah-olah amnesia dengan semua janji janjinya kepada rakyat ketika sedang mencari suara. Pada hal tanpa rakyat dan tanpa suara rakyat mereka tentu tidak menjadi apa apa dan bukan siapa siapa.Artinya bukan menjadi orang yang berkuasa sehingga dengan kewenangan besarnya mampu mempengaruhi warna kehidupan berjuta juta manusia.

Terjadinya ragam penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi akhir akhir ini selain karena pemegang kekuasaan gagal memaknai hakekat kekuasaan yang melekat pada dirinya, juga disebabkan karena lemahnya pengawasan kepada penguasa.Lemahnya pengawasan menyebabkan kekuasaan dijalankan dengan “liar” tak bisa lagi dikendalikan untuk dikembalikan ke rel yang sebenarnya.

Kekuasaan yang tidak bisa dikendalikan sebagai akibat lemahnya pengawasan berimbas pada terjadinya fenomena dimana rakyat yang kemudian dikendalikan oleh kekuasaan sehingga memicu banyak penyimpangan yang merugikan rakyat, bangsa dan negara.

Saat ini kelembagaan seperti DPR sebagai institusi pengawas pemerintah harus diakui kemandulannya dalam menjalankan fungsi pengawasan yang seharusnya dijalankannya. Mungkin kelembagaan DPR saat ini telah menjadi lembaga DPR terlemah pasca reformasi karena “kemandulannya”. Sehingga perannya mirip mirip dengan yang terjadi pada masa orde baru (orba) berkuasa.

Lemahnya pengawasan tersebut semakin sempurna setelah upaya penegakan hukum atas penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa begitu lunglai penegakan hukumnya sehingga tidak menimbulkan efek jera.

Bahkan dalam beberapa kasus, kesalahan dalam menjalankan kebijakan Publik hanya dilihat sebagai kesalahan prosedur belaka pada hal merugikan negara sehingga sudah seharusnya bisa dipidana. Tetapi ini semua tidak dilakukan karena yang seharusnya mempidana merupakan bagian dari kelompoknya juga.

Terjadinya carut marut dan aneka persoalan bangsa tersebut diduga karena para pemegang kendali kekuasaan adalah para pengkhianat bangsa yang menjadi agen kekuatan imperialis asing yang mencengkeram bangsa dengan hutang dan terus berusaha menguasai sumber daya alam Indonesia

Mereka inilah yang mengendalikan sistem keuangan dan mendominasi ekonomi dan politik bangsa melalui kolaborator dari bangsa kita. Mereka begitu kuat karena jaringannya sudah menyebar kemana mana.

Mereka begitu menikmati warisan kerusakan sistem yang diwariskan oleh orba yang melahirkan mayoritas pejabat dan barisan birokrat yang materialistik dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan leluhur bangsa Indonesia.

Mereka yang mendompleng gerakan reformasi yang diarahkan oleh pihak asing yang semakin menjauhkan bangsa Indonesia dari nilai-nilai Pancasila dan menjauhkan dari kemungkinan meraih cita-cita keadilan dan kemakmuran sebagaimana tujuan berdirinya negara kesatuan republik Indonesia.

Ibarat kumpulan benang kusut, permasalahan bangsa begitu ruwet sehingga tidaklah mudah untuk mengurainya. Ditengah tengah kekusutan ini sebagai salah satu warga bangsa kita perlu tetap teguh pendirian berada dipihak yang mana. Syukur syukur kalau diantara kita ada pemikiran untuk mencarikan jalan keluarnya, apakah Anda mempunyai solusinya? []

Penulis : Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Advertisement
Advertisement