[OPINI] Pekerja Migran Indonesia Perempuan dan Organisasi Pekerja di Hong Kong Mengenai UU Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020)
HONG KONG – UU Omnibuslaw Cipta Kerja sudah di sahkan dan dibukukan dalam lembaran negara dengan nomor UU No. 11 tahun 2020 sehingga sudah saat nya seluruh elemen bangsa mengetahui isi maupun tujuan akan hadirnya undang-undang tersebut. Seperti diketahui jauh sebelum UU tersebut di sahkan terdapat banyak kontroversi baik yang pro maupun kontra namun sejak di sahkan dan berlaku nya UU tersebut apakah sudah banyak pekerja perempuan maupun organisasi pekerja migran yang mengetahui dan berbicara mengenai opini mereka mengenai UU tersebut. Berikut beberapa fakta dan data mengenai UU Omnibuslaw baik dari sejak RUU hingga menjadi UU.
Setelah berbagai isu dan perdebatan serta berbagai demo baik sejak RUU di teken di DPR-RI sampai proses penyusunan dan sidang di DPR-RI, dimana demo dilakukan baik dari kalangan buruh, serikat kerja, masyarakat, dan mahasiswa sehingaa menjadi berita dan topik yang panas di media massa dan media sosial. Pemerintah akhirnya membuka suara melalui konfersi press yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, Ia menjelaskan bahwa alasan utama pemerintah melakukan percepatan pembahassan UU Omnibuslaw Cipta Kerja ini karena kebutuhan masyarakat agar dapat dipayungin hukum yang jelas.
“Pertama, setiap tahun ada 2,9 juta penduduk usia kerja baru, anak muda yang masuk ke pasar kerja. sehingga kebutuhan atas lapangan kerja baru sangat mendesak, apalagi di tengah pandemi terdapat kurang lebih 6,9 juta pengangguran dan ada 3,5 juta pekerja terdampak Covid-19”, kata Jokowi, Jumat (9/10/2020).
Sudah 2 bulan lebih berjalannya UU No.11 tahun 2020 sejak di sahkan dan dibukukan dalam lembaran negara, masih banyak masyarakat bertanya mengenai efektifitas atas janji pemerintah dalam upaya mengakomodir dan memayungi hukum bagi masyarakat. Sherli seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang sudah berkerja selama 12 tahun di Hongkong menceritakan berbagai keluhan dan harapannya. Sherli menjelaskan bahwa dirinya mengerti dan mengetahui mengenai UU No.11 tahun 2020 yang sudah disahkan, namun dia menceritakan bahwa UU yang ada tidak menjamin adanya perlindungan pekerja migran karena menurut dia UU ini lebih memihak kepada investor dan pengusaha sehingga kemungkinan pekerja akan semakin ditekan.
Sejalan dengan hal tersebut Sherli mengharapkan bahwa pemerintah untuk bisa merivisi UU No.11 tahun 2020 tersebut dan lebih melindungi warga negara termasuk PMI yang merupakan bagian warga negara RI yang perlu dilindungi dan diperlakukan setara oleh pemerintah, dengan dibuat UU yang benar-benar memihak kepentingan PMI serta bisa diterapkan secara benar, karena kebanyakan UU yang ada hanya berupa rangkaian tulisan dan minim akan penerapan di lapangan.
Selain tanggapan dari PMI, Wahyunara Saputro yang pernah menjabat sebagai Eksekutif Komite Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) periode 2016-2020 dan juga pengurus BEM Universitas Terbuka (UT) cabang Hongkong periode 2020-2021 sekaligus juga merupakan PMI yang telah bekerja 8 tahun di Hongkong menjelaskan bahwa dia mengetahui mengenai pengesahan UU No.11 tahun 2020 ini namun menurut nya jika di implementasikan terhadap perlindungan saat di Negara penempatan (Hongkong) maka UU Cipta Kerja ini tidak berdampak karena secara hukum, perlindungan di Hongkong sudah sangat baik melindungi pekerja migran. Ia menambahkan bahwa berbeda dengan calon pekerja migran, UU Cipta Kerja dinilai melemahkan perlindungan calon PMI karena ada 4 pasal yang diubah dan 1 pasal yang disisipkan dalam UU PPMI No.8 tahun 2017. Sebagai contoh pasal 57 ayat (1) dan (2) tentang SIP3MI, berbagai persyaratan yang diatur dalam pasal 57 tersebut dihapus didalam UU No.11 tahun 2020 ini.
Selanjutnya menurut nya ketika seorang PMI berada di Hongkong maka secara otomatis PMI menjadi subjek dan objek dari hukum yang berlaku di Hongkong, di Hongkong peraturan untuk perlindungan pekerja migran jauh lebih baik dari Negara lain, meskipun ada peraturan-peraturan yang sampai saat ini belum bisa dimasukkan dalam undang-undang seperti aturan jam kerja yang tidak jelas. Karena tidak ada aturan berapa jam seharusnya pekerja migran bekerja, maka hal ini seringkali dimanfaatkan oleh majikan-majikan yang tidak baik untuk mengeksploitasi pekerjanya. Di dalam situasi jam kerja panjang yang dialami PMI di Hongkong banyak PMI yang memanfaatkan secara maksimal waktu yang dimiliki nya termasuk Mbak Wahyunara biasa dirinya disapa.
“Saya berusaha memaksimalkan waktu yang ada untuk melakukan aktivitas organisasi, pengorganisiran dan belajar sebagai seorang mahasiswa. Melakukan itu semua di waktu yang sempit dan kurang istirahat tentu saja terasa melelahkan”, kata Wahyunara, Senin,(25/01/ 2021).
Seirama dengan Sherli, Wahyunara pun menyampaikan harapanya bahwa Pemerintah mampu memberikan perlindungan bagi pekerja migran dengan membuat aturan hukum yang memihak kepada buruh migran.
Harapan baik dari PMI maupun organisasi PMI yang berada di Hongkong ini merupakan sebuah keluhan dan saran yang harusnya menjadi perhatian Pemerintah dalam mengimplementasikan dan membuat produk hukum yang dapat secara benar dan tepat melindungi seluruh warga negara Republik Indonesia dimana PMI didalamnya merupakan warga negara yang memiliki kontribusi atas pemasukan devisa negara. []
Penulis Muhammad Iqbal