Pemenuhan HAM Terhadap Pekerja Migran Dimata Komnas HAM
JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat masih banyak permasalahan yang dialami pekerja migran Indonesia (PMI), khususnya terkait perlindungan dan pemenuhan hak mereka. Hal ini tercermin dari 257 aduan terkait PMI yang diterima Komnas HAM dalam kurun waktu 2020-2022.
Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Anis Hidayah mengatakan, nasib pekerja migran sampai saat ini masih memprihatinkan. Padahal, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia memiliki semangat besar agar pekerja migran terlindungi dari perbudakan dan kerja paksa, perlakuan merendahkan harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar HAM.
“Namun, terjadinya berbagai ketidakadilan yang menimpa para pekerja migran dapat menjadi cermin bahwa Pemerintah Indonesia dianggap belum mengimplementasikan secara optimal,” kata Anis dalam keterangan resmi, Minggu (18/12/2022).
Kondisi ini diperparah dengan adanya pandemi Covid-19. Banyak pabrik dan sektor-sektor swasta lainnya harus tutup, sehingga para pekerja tidak mendapatkan gaji maupun hari libur karena kebijakan pembatasan mobilitas.
Selain itu, banyak pekerja migran yang terjebak dalam tempat penampungan sementara, sebab mereka tidak dapat pulang ke Indonesia. Hal ini mengakibatkan pekerja migran rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
“Komnas HAM menerima pengaduan dari organisasi masyarakat sipil. Sepanjang pandemi, ribuan PMI menjadi korban tindak pidana perdagangan orang melalui scamming di Kamboja, Myanmar, Laos dan Filipina,” ujar Anis.
Di samping itu, ratusan ribu pekerja migran Indonesia berpotensi tidak memiliki kewarganegaraan atau stateless. Terkait hal ini, Komnas HAM bersama dengan Human Rights Commission of Malaysia (SUHAKAM), dan Commission on Human Rights of the Philippines (CHRP) bersepakat untuk menandatangani nota kesepahaman tentang permasalahan orang-orang yang kehilangan kewarganegaraan di Sabah, Malaysia pada 23 April 2019.
“Konjen Indonesia di Malaysia mencatat WNI yang berpotensi menjadi stateless di Sabah, Malaysia sebanyak 151.979 orang WNI di Kinabalu dan 173.498 orang di Tawau, dengan total keseluruhan 325.477 orang,” tutur Anis.
Di sisi lain, perempuan di sektor pekerja rumah tangga masih rentan mengalami kekerasan berbasis gender. Sementara, pekerja migran di sektor perkebunan sawit dan anak buah kapal (ABK) rentan mengalami perbudakan modern (modern slavery) melalui perlakuan keji dan sewenang-wenang.
Anis menilai, berbagai permasalahan pelanggaran HAM yang terus terjadi pada pekerja migran ini dipicu masih lemahnya sosialisasi aturan terkait perlindungan PMI, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Selain itu, operasionalisasi perusahaan penempatan pekerja migran juga kurang mendapat pengawasan.
Tak hanya itu, adanya dugaan keterlibatan aparatur pemerintah terutama dalam hal pemalsuan identitas dan dokumen calon buruh migran, juga disinyalir jadi salah satu penyebab permasalahan pekerja migran.
Atas dasar hal tersebut, Komnas HAM menyampaikan sejumlah rekomendasi dalam mengatasi permasalahan terkait pekerja migran.
Pertama, pemerintah Indonesia diminta mengintegrasikan jaminan HAM ke dalam kebijakan yang dikeluarkan dan dalam implementasinya, dam menerapkan prinsip Business and Human Rights terhadap perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI) serta agensi di luar negeri atas tanggung jawab untuk menghormati hak asasi manusia pekerja migran indonesia.
Kemudian, meminta pemerintah untuk mengatur, menjamin dan mengimplementasikan hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi PMI yang merupakan bagian dari hak memperoleh keadilan dalam proses peradilan.
“Mendorong pemerintah membentuk tim kerja yang secara khusus menangani PMI dan anak-anak yang kehilangan kewarnegaraan (stateless) di Malaysia,” ujar Anis.
Berikutnya, membangun kerja sama yang strategis antara institusi-institusi negara yang memiliki kewenangan dalam menangani permasalahan pekerja migran. Di samping itu juga menempatkan peran masyarakat sipil sebagai mitra kerja pemerintah dalam mengupayakan perlindungan PMI sesuai dengan standar HAM.
“Melakukan pembenahan tata kelola permasalahan PMI secara komprehensif melalui menyiapkan, memantau, menindak pelanggaran (penegakan hukum),dan mengembangkan/
membangun sistem pendataan PMI,” tutur Anis.
Selanjutnya, membangun konsistensi mekanisme kontrol (monitoring) terhadap implementasi aturan terkait PMI. Hal ini guna melihat efektivitas implementasi aturan tersebut bagi perlindungan PMI, termasuk membangun sistem monitoring atau pengawasan efektif terhadap P3MI dan agensi di luar negeri, atau majikan dan melaporkannya secara publik.
Lalu, meminta pemerintah melakukan pembenahan administratif yang bersifat kedaruratan, peningkatan fasilitas pelayanan dan penghapusan berbagai bentuk penyelewengan dalam memberikan perlindungan PMI.
Tak hanya itu, pemerintah juga diminta melakukan peningkatan kapasitas dalam memahami HAM agar prinsip dan nilai-nilai HAM terintegrasi di dalam setiap kegiatan yang dilakukan pelaksana kebijakan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
“Membangun standar kurikulum pendidikan pra migrasi yang berpersfektif hak asasi manusia, metode pembelajaran yang partisipatif dan mekanisme kontrol yang memadai,” ucap Anis. []