April 16, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Ternyata, Jumlah Paperan Di Indonesia Tembus 14 Juta Jiwa

2 min read

YOGYAKARTA – Pencari suaka dan pengungsi dari berbagai negara di Indonesia terus meningkat. Mereka berasal dari Myanmar, Afganistan, Irak, Iran, Somalia serta sejumlah negara Timur Tengah.

Peneliti dari Institute of International Studies (IIS) Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM Yogyakarta Atin Prabandari mengatakan, data dari United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) sampai saat ini 14,4 juta jiwa. Sepertiga dari mereka menempati 13 rumah detensi imigrasi di Indonesia.

“Sepertiga lainnya menempati rumah komunitas yang dibiayai oleh International Organization for Migration. Jumlah lainnya membaur dengan masyarakat,” kata Atin di Yogyakarta, Senin (2/7).

Menurut dia, pada 2017 lalu, IIS Fisipol UGM mengembangkan studi pengungsi karena jumlahnya semakin banyak. Di sisi lain, tempat mereka di shuttle di sejumlah negara ketiga jumlahnya sedikit. “Kita melakukan penelitian, mencoba membantu mencari solusi atas persoalan global ini,” tegasnya.

Atin mengatakan, dari penelitin yang dilakukan, para pengungsi dan pencari suaka tidak mendapatkan hak sewajarnya. Meski mereka bukan warga negara Indonesia, mereka tidak mendapatkan hak pendidikan dan pekerjaan. “Persoalan pengungsi asing ini Indonesia hanya negara transit sebelum ditempatkan di negara ketiga,” jelasnya.

Pria Paperan Ini Menjadi Perampok Dan Membuat Keamanan Yuen Long Terganggu

Namun, kata dia, meski hanya negara transit, faktanya mereka tinggal di Indonesia bisa sampai 25 tahun. “Mereka tanpa kepastian, tanpa akses pendidikan dan pekerjaan,” imbuhnya.

 

Langkah Maju Indonesia

Dosen Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM Yunizar Adiputera menambahkan, Indonesia tidak menandatangani Konvensi tentang Status Pengungsi tahun 1951 atau Protokol 1967. Namun, pemerintah Indonesia sudah melakukan langkah maju dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka.

Dia menyontohkan, salah satu langkah maju pemerintah Indonesia dengan menebitkan Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016 tentang Pengamanan Pengungsi Luar Negeri. Namun, implementasi dari Perpress tersebut belum dilakukan secara komprehensif. “Perpres disambut positif oleh dunia internasional. Namun, implementasinya belum efektif berdampak bagi pengungsi luar negeri,” jelasnya.

Yunizar mengungkapkan, salah satu contoh implementasi Perpres 125 Tahun 2016 belum maksimal adalah pelibatan pemerintah daerah mengalokasikan APBD untuk menagangi pengungsi luar negeri tersebut.

Jumlah Paperan Meningkat, Kriminalitas di Hong Kong Juga Meningkat

Menurut dia, hak-hak yang tidak dipenuhi tersebut merugikan pengungsi dan pencari suaka. “Mereka bisa menunggu 25 tahun sebelum dipindahkan ke negara tujuan. Selama waktu menunggu itu, mereka tidak mendapat akses pekerjaan dan pendidikan,” paparnya.

Sementara itu, National Program Officer Jesuit Refugee Service (JRS) Fransisca Dwi Indah Asmiarsi mengatakan, akses pekerjaan bagi pengungsi luar negeri sangat krusial agar mereka bisa bertahan hidup. “Bagi yang menempati rumah detensi imigrasi sangat menyulitkan bagi mereka,” ungkapnya.

Berbeda dengan pengungsi luar negeri yang membaur dengan masyarakat lokal. Mereka lebih punya kesempatan mencari pekerjaan, meski sekedar untuk bertahan hidup. “Kami mengamati di Bogor, antara pengungsi luar negeri dengan masyarakat lokal sudah terjalin hubungan baik,” ungkapnya.

Menurut dia, apa yang terlihat di Bogor hanya satu contoh yang sukses. Di tempat lain, ternyata banyak permasalahan yang dihadapi. Para pengungsi luar negeri pun meminta bisa menempati rumah detensi.

Persoalannya, kata dia, rumah detensi imigrasi di Indonesia seperti di Kalideres, Pekanbaru dan Medan sudah over kapasitas. Terpaksa mereka harus ditolak. Akhirnya pengungsi luar negeri itu memilih membangun tenda di sekitar rumah detensi. (ans)

Advertisement
Advertisement