January 25, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Jika Diubah Ekosistem Pengirimannya, Penerimaan Negara dari PMI akan Melebihi Migas

6 min read

JAKARTA –  Saya tertegun membaca sebuah paper yang dipublikasi oleh Bintara Sura Priyambada, dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta. Paper ini sudah terbit cukup lama di Jurnal Rechstat tanggal 1 Maret 2014, ketika pemerintah RI mengeluarkan moratorium pengiriman pekerja migran ke beberapa negara Timur Tengah, yang diberi judul: “Pengaruh Moratorium Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”.

Rupanya dibalik segala issue negatif tentang pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri yang sering dikaitkan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), sektor ini telah menjadi sektor nomor tiga terbesar yang memberikan kontribusi pada penerimaan negara di APBN. Sektor pertama adalah pajak, sektor kedua adalah migas, dan pengiriman TKI ke luar negeri menjadi sektor ketiga terbesar.

Angka yang dilaporkan dalam penelitian yang ditulis tahun 2014 itu, kontribusi sektor ini sudah melebihi angka Rp 100 triliun. Kontribusi yang sudah signifikan ini ternyata masih jauh lebih kecil dari yang dicapai oleh Filipina dan India yang penerimaan devisanya dari sektor tersebut 2 kali lebih besar dari Indonesia dibanding Fhilipina. Bahkan, 3 kali lebih besar untuk India.

Itu artinya, jika kita memperbaiki ecosystem penempatan pekerja migran kita ke luar negeri, kita bisa memacu penerimaan dari sektor ini. Bahkan, melebihi penerimaan dari sektor migas.

Usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk menggenjot penerimaan sektor migas jauh lebih berat, karena sektor ini membutuhkan investasi yang sangat besar, dengan komplikasi persoalan sosial dan lingkungan. Sementara untuk sektor pengiriman TKI ke LN, pemerintah sebenarnya cukup berperan sebagai regulator dan fasilitator yang independen, tanpa mengeluarkan investasi sebesar sektor migas.

Sekarang pun sebenarnya dengan mempertimbangkan faktor investasi ini, sektor pengiriman TKI sudah merupakan sektor yang paling besar memberikan kontribusi pada penerimaan negara. Lalu, bagaimana sebenarnya kondisi ekosistem pengiriman tenaga kerja ke luar negeri yang sekarang ada di Tanah Air?

 

Pekerja Migran Indonesia Rentan

Seluruh ekosistem saat ini masih diatur oleh Undang-Undang (UU) No 18 tahun 2017 dengan nama UU Perlindungan Pekerja Migran. UU ini juga menjadi dasar pembentukan sebuah badan yang diberi nama Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BPPMI) di masa Presiden Joko Widodo.

Ketika menyusun kabinetnya, Presiden Prabowo Subianto mengubah status badan ini menjadi kementerian baru, sebagai pemekaran dari Kementerian Tenaga Kerja. Dalam nomenklatur resmi tertulis Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia/ Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Terlihat bahwa dengan berdirinya kementerian baru, tidak berarti badan tersebut dibubarkan. Bahkan dengan nomenklatur seperti itu, menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia sekaligus adalah kepala Badan Perlindungan Pekerja Indonesia. Ini menyimpan problem sendiri yang serius sebenarnya. Dari nama undang-undang, nama badan di era Joko Widodo dan nama Kementerian di era Prabowo, terlihat jelas, penekanan ecosistem yang dibangun ada pada faktor perlindungan tenaga kerja migran.

Ini sangat mungkin dikarenakan tingkat kerentanan tenaga kerja migran Indonesia sangat tinggi. Hal itu akibat pekerja yang dikirim umumnya low skill, seperti pembantu rumah tangga dan buruh kasar di perkebunan kelapa sawit.

Kelompok pekerja ini memiliki skill sangat rendah serta pengetahuan yang sangat minim, sehingga sangat rentan menjadi korban penipuan dan manipulasi dari oknum-oknum penyalur tenaga kerja ilegal. Oknum-oknum itu memanfaatkan kondisi kemiskinan para pekerja untuk memaksakan prosedur-prosedur ilegal, yang menjebak para pekerja migran Indonesia.

Kondisi pekerja yang rentan tersebut diperkuat dengan fakta, pengalaman empiris di lapangan terkait penipuan, pemerkosaan, dan tindakan kekerasan yang dialami oleh para pekerja, yang bahkan sampai menyebabkan kematian di negara pemberi kerja. Hal itu membuat paradigma ekosistem yang dibangun oleh pemerintah adalah paradigma perlindungan pekerja migran.

Dengan paradigma seperti itu, regulasi yang dibuat didominasi dengan faktor-faktor yang mempersulit pengiriman tenaga kerja migran kita, memperberat syarat-syaratnya. Munculnya syarat dalam Peraturan Menaker No 10 Tahun 2019 tentang keharusan memiliki dana awal sebesar Rp 5 miliar bagi lembaga pengirim tenaga kerjanya adalah salah satu aspek kesulitan yang dibuat dengan paradigma perlindungan tersebut. Pertanyaan reflektif yang muncul adalah, apakah dengan meningkatnya tingkat kesulitan dalam regulasi dan ekosistem yang dibuat, malah tidak mendorong para pelaku mencari lubang-lubang ilegal, agar lolos dari rangkaian kesulitan tersebut?

Dengan ekosistemseperti ini, sulit dicapai sasaran yang ditetapkan Presiden Prabowo Subianto untuk menaikan jumlah penempatan tenaga kerja migran Indonesia di luar negeri. Walaupun, hal tersebut merupakan strategi dengan modal investasi minim untuk menaikan pendapatan negara, hal yang menjadi prioritas pertama di tengah kesulitan fiskal yang dialami pemerintah saat ini.

 

Saatnya Hilirisasi TKI

Data yang ditampilkan dalam jurnal yang ditulis oleh Bintara dalam penelitiannya menunjukkan bahwa 80% dari TKI migran yang dikirim oleh Indonesia adalah tenaga kerja low skill seperti pembantu rumah tangga dan buruh pekerbunan. Dengan kondisi seperti ini saja, kontribusi TKI migran dalam pendapatan negara sudah mencapai urutan ketiga, setelah pajak dan sektor migas. Itu pun yang terdata adalah para pekerja legal saja. (Berdasarkan data yang diolah Riset Investortrust, buruh migran terbanyak berasal dari Provinsi Jawa Timur 62.258 orang dan terbanyak dikirim ke Hong Kong 77.799 orang).

Penerimaan negara akan meroket dari sektor ini, jika jumlah pekerja yang dikirim meningkat dan pekerja migran yang dikirim adalah memiliki middle skill dan bukan low skill lagi. Contoh pekerja di level ini adalah perawat, pekerja bidang perhotelan dan hospitality, pekerja di sektor industri untuk fungsi-fungsi seperti operator mesin bubut, mesin milling, ahli las, dan sebagainya. Mereka adalah kelompok yang terdidik, sehingga memiliki kesadarah hukum serta hak hak mereka sebagai pekerja dan tingkat kerentanannya jauh lebih rendah dari para pekerja yang low skill. Mekanisme perlindungan diri berjalan di kelompok ini.

Oleh karena itu, jika Indonesia ingin meningkatkan jumlah pekerja migran ke luar negeri, diperlukan program terpadu menuju hilirisasi TKI. Istilah ini agak dipaksakan analoginya dengan hilirisasi komodotas, yang intinya merupakan proses memberikan nilai tambah sehingga nilai ekspornya meroket.

TKI kitapun perlu mendapatkan proses peningkatan nilai tambah dari low skill menjadi middle skill lewat proses upskilling sehingga nilai jualnya meroket, gaji yang diterima juga jauh lebih tinggi. Itu yang dimaksudkan dengan hilirisassi TKI, sekadar sebagai suatu analogi, sama sekali tidak dimaksudnya untuk mendegradasi TKI menjadi setara dengan komoditas.

Saat ini terjadi kekurangan tenaga kerja middle skill yang sangat besar di negara-negara Eropa Barat, juga di Asia Timur. Sebaliknya, tenaga perawat kesehatan di Indonesia akan kelebihan sebanyak 600.000 di tahun 2030, di tengah dunia kekurangan 9 juta tenaga perawat. Ini menunjukkan peluang kerja bagi perawat Indonesia di luar negeri sangat tinggi.

Negara negara Asia yang menjadi pengirim tenaga kerja migran middle skill ini antara lain, Filipina dan India. Kini, Vietnam, Bangladesh, dan Nepal juga memberi perhatian khusus pada peluang ekonomi itu bagi kepentingan rakyatnya. Indonesia yang sudah menjadi pemain lama, malah masih berkutat dengan pengiriman tenaga kerja low skill dengan berbagai permasalahan yang sangat kompleks.

 

Butuh Diferensiasi Regulasi

Penulis menilai, dibutuhkan diferensiasi regulasi untuk pekerja migran yang low skill dengan kerentanan yang tinggi dengan pekerja yang middle skill. Untuk yang low skill paradigma proteksi bisa dipertahankan, bahkan perlu ditambahkan dengan konsistensi penerapan hukum tanpa pandang bulu.

Namun, untuk yang middle skill, paradigmanya adalah mendorong penambahan jumlah pekerja migran ke luar negeri. Aspek perlindungan bisa nomor dua, karena kelompok ini sudah memiliki kesadaran yang tinggi untuk melindungi diri serta memiliki posisi tawar yang lebih baik.

Pemerintah sebaiknya hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator bagi swasta profesional, yang menjadi pemain dan pengirim TKI migran ke luar negeri. Konstruksi ekosistem yang sebaiknya dipertimbangkan untuk diubah, antara lain:

  1. Nama UU jangan lagi UU Perlindungan Tenaga kerja Migran Indonesia namun UU Pengelolaan Tenaga Kerja Migran Indonesia. UU terdiri dari dua bagian: mengenai aspek peningkatan jumlah penempatan pekerja yang middle skill dan aspek perlindungan untuk pekerja migran yang low skill.
  2. Nomenklatur kementerian tidak perlu disatukan dengan badan.
  3. Badan perlindungan pekerja migran Indonesia sebagai lembaga negara sebaiknya dilarang untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga jasa penempatan tenaga kerja Indonesia, seperti diatur di Pasal 49 UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Pasalnya, menyatukan regulator dengan pemain jelas tidak sehat.
  4. UU baru mesti memberi dasar hukum bagi inisiatif pemerintah dalam mendorong beroperasinya sebanyak mungkin pusdiklat di seluruh Tanah Air, yang secara khusus mempersiapkan tenaga kerja migran middle skill ke luar negeri.
  5. Daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi sebaiknya menjadi prioritas program ini, untuk secepatnya menaikkan taraf hidup mereka, walaupun tentu saja akan tergantung pada respons strategis dari pemerintah daerah di sana.

Seluruh strategi ini sebaiknya dipadukan dengan strategi mendorong pendidikan vokasi di Tanah Air, karena hanya lewat vokasilah, kita bisa secara cepat mempersiapkan tenaga tenaga terampil siap kerja di luar negeri. Rumor bahwa akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran dalam waktu dekat, semestinya mempercepat pemerintah mendorong langkah-langkah ini, dimulai dengan perubahan ekosistem lewat perubahan regulasi yang ada.  []

Penulis : Dr Ing Ignasius Iryanto Djou, SF M Eng Sc CSRS, akademisi dan aktivis sosial politik

Advertisement
Advertisement