April 25, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

[OPINI] PRT, Job PMI yang Paling Rentan dan Harus Ada Peningkatan Perlindungan

3 min read

JAKARTA – Pergi ke luar negeri dengan tujuan mendapatkan pekerjaan dan penghasilan (yang lebih baik) untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga adalah salah satu tujuan yang ingin dicapai semua pekerja migran. Di banyak negara fenomena ini bahkan sudah menjadi sebuah tradisi sosial, budaya, dan territorial.

Menurut OIM UN Migration, pada tahun 2020 jumlah migran internasional di dunia mencapai sekitar 281 juta (setara dengan 3,6% dari populasi global), yang mana 164 juta merupakan pekerja migran.

Selama dua puluh tahun terakhir, Asia merupakan wilayah yang mengalami pertumbuhan yang paling luar biasa, yaitu sebesar 74% (sekitar 37 juta orang secara absolut). Pada tahun 2019, jumlah total remittance yang dikirim oleh para pekerja migran (termasuk diaspora) di seluruh dunia mencapai 717 miliar dolar amerika.

Untuk kasus Indonesia, menurut Menaker RI Ida Fauziyah, yang disampaikan dalam diskusi “Pekerja Migran Indonesia di Masa COVID-19: Tantangan, Kontribusi, dan Harapan” pada Congress of Diaspora Indonesia ke-6 bulan Agustus yang lalu, merujuk pada data Bank Dunia dan BPS tahun 2017 jumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) mencapai 9 juta (termasuk PMI procedural dan PMI non procedural), yang tersebar di 200 negara.

Jika dilihat dari data penempatan yang tercatat di SISKOTKLN, selama 5 tahun terakhir rata-rata penempatan mencapai 266 ribu orang (jumlah PMI perempuan lebih tinggi daripada PMI laki-laki). Tambahan lagi, selama 3 tahun terakhir PMI didominasi Pekerja Rumah Tangga (PRT).

International Labour Organization (ILO) mengakui bahwa dalam sektor informal PRT merupakan bagian penting dari angkatan kerja global, tetapi termasuk di antara kelompok pekerja yang paling rentan.

Mereka menerima upah yang sangat rendah, tetapi memiliki jam kerja yang terlalu panjang, tidak memiliki jaminan hari istirahat mingguan dan terkadang rentan terhadap kekerasan fisik, mental dan seksual atau pembatasan kebebasan bergerak.

Eksploitasi terhadap PRT sebagian dapat dikaitkan dengan kesenjangan dalam ketenagakerjaan nasional dan undang-undang ketenagakerjaan, dan sering kali mencerminkan diskriminasi gender, ras, dan kasta. Saat ini setidaknya ada 67 juta PRT di seluruh dunia (belum termasuk PRT anak) dan 80%nya adalah perempuan.

PRT Indonesia juga tak lepas dari apa yang telah didokumentasikan ILO. Dalam diskusi “Pekerja Migran Indonesia di Masa COVID-19: Tantangan, Kontribusi, dan Harapan”, Umrohatun, seorang PMI yang bekerja di Malaysia, menjelaskan situasi yang dialami banyak PRT Indonesia.

“PRT Indonesia sering berada dalam situasi yang tidak mendukung, mengalami pelanggaran hak pekerja dan tidak ada jaminan kerja yang layak. Respon lambat, gaji tidak dibayar, tidak ada libur, dan dokumen dirampas majikan.

Kami rentan terhadap penipuan dan manipulasi para calo dan agen. Pada masa pandemia, masalah semakin bertambah, karena ada resiko mengalami masalah kesehatan.

Masalah psikologi menjadi semakin tinggi. Keletihan ekstrim karena jam beban kerja yang semakin bertambah, kecemasan tertular covid dan kesulitan mendapatkan vaksin, serta depresi karena kehilangan penghasilan, sementara pengeluaran semakin banyak.

Situasi menjadi semakin buruk dengan sulitnya mendapatkan akses ke layanan kesehatan dan jaminan sosial. Situasi ini menyebabkan munculnya kasus-kasus bunuh diri para kelompok migran.”

Dalam diskusi “Pekerja Migran Indonesia di Masa COVID-19: Tantangan, Kontribusi, dan Harapan”, Menaker RI Ida Fauziyah menyampaikan bahwa pemerintah mengakui pentingnya migrasi tenaga kerja bagi pembangunan, dan sadar bahwa faktor ekonomi merupakan pendorong utama angkatan kerja Indonesia untuk melakukan migrasi. Pemerintah memiliki komitmen yang kuat dalam melindungi kepentingan PMI. Hal itu terlihat dari adanya Atase Ketenagakerjaan di Perwakilan RI.

Memang, dari 200 negara, baru ada 13 Atase Ketenagakerjaan. Namun, pemerintah terus berupaya meningkatkan pelayanan pelindungan. Misalnya, dengan mensahkan UU Nomor 18 tahun 2017, yang merupakan pengganti UU nomor 39 tahun 2004.

Menaker RI Ida Fauziyah juga menjelaskan bahwa masalah PMI memang sangat kompleks dan dinamis, mengikuti perkembangan sosial. Pemerintah berharap komunitas diaspora Indonesia dapat turut membantu pemerintah, sehingga pelindungan terhadap PMI akan lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Dalam hal ini sangat penting mendiskusikan bentuk kerjasama yang visible, sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing.

Pada kesempatan diskusi bersama Menaker RI Ida Fauziyah itu, para PMI menyampaikan harapan mereka agar adanya jaminan perlindungan UU untuk kerja layak, termasuk RUU PRT dan mendorong perbaikan UU Nomor 18 tahun 2017, khususnya yang terkait dengan aspek kesehatan dan jaminan sosial. Pada masa pandemi ini, pemerintah perlu mempermudah layanan.

Pemerintah juga perlu mengembangkan modul untuk memberikan pelatihan kepada PMI dan berkolaborasi dengan kelompok PMI di negara tujuan untuk mengurangi kasus-kasus kekerasan dan permasalahan psikologis (dan dampaknya) yang dialami PMI. Mereka juga berharap diskusi-diskusi yang diselenggarakan IDN Global bisa menjadi sarana komunikasi PMI dengan pemerintah. []

Artikel ini ditulis oleh Evi Siregar dan pernah dimuat di Kolom Kompasiana, penulis adalah koordinator Public Relation IDN Global Periode 2021-2023.

 

Advertisement
Advertisement