December 22, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Saat Menulis Resep, Kenapa Tulisan Tangan Dokter Jelek ?

2 min read

JAKARTA – Tiap kali pergi berobat mengunjungi dokter pasti kita akan melihat fakta tak terbantahkan kalau mayoritas dokter memiliki tulisan yang cukup sulit dibaca. Entah itu tulisan di resep obat atau di catatan medis kepada pasien. Biasanya, semakin senior dokter tulisan tangannya juga makin “senior”, alias sangat sulit dibaca.

Tentu sebagai awam kita pasti akan menyipitkan mata untuk dapat melihat dan memahaminya. Ada ungkapan kalau tulisan tersebut hanya bisa dibaca oleh Tuhan dan dirinya sendiri. Kebiasaan ini kemudian tak jarang menjadi permasalahan sendiri dalam dunia medis dan farmasi. Sebab, ketika tulisan tersebut semakin tidak terbaca artinya peluang kesalahan semakin tinggi. Entah salah diagnosis atau ketidaktepatan pemberian dosis obat.

“Seiring berjalannya waktu, masalah ketidakterbacaan tulisan tangan dokter menjadi masalah sistemik dunia kesehatan,” tulis Donald M. Berwick dan David E. Winickoff dalam “The truth about doctors’ handwriting: a prospective study” (1996)

Masalah ini pernah terjadi di Inggris. Dalam studi “Poor Handwriting remains a significant problem in medicine” (2006) terungkap kalau di Inggris tulisan dokter yang jelek berkontribusi pada peningkatan permasalahan 30 ribu jiwa setiap tahunnya. Ada yang sakitnya makin parah, ada pula yang meninggal karena tulisan dokter yang tidak terbaca.

Di Indonesia pernah juga ada kasus pada 2021 yang menimpa dua pegawai apotek karena masalah ini. Melansir Kompas, cerita bermula ketika ada pasien yang datang ke sebuah apotek tempat pegawai itu bekerja untuk menebus resep obat dari seorang dokter. Namun, karena resepnya tak terbaca dan dokter tak bisa dihubungi, pegawai memulangkan resepnya. Lalu beberapa hari kemudian pasien datang lagi, dan berhasil membawa obat. Akan tetapi, setelahnya si pasien jatuh sakit.

 

Lalu mengapa tulisan dokter jelek?

Dokter Gary Larson di Forbes menyebut kalau ini adalah berawal dari tradisi masa kuliah. Para calon dokter kerap menerima materi seabrek. Akibatnya mereka butuh waktu cepat untuk mencatatnya. Dampaknya, tulisan tangannya pun jauh dari kata bagus.

“Yang penting bisa dibaca oleh sendiri,” begitu kira-kira pemikirannya.

Kebiasaan ini terus berlanjut ketika mereka lulus. Salah satu dokter dalam laman The Healthy memaparkan kalau ini disebabkan karena beban dokter yang tinggi. Seorang dokter biasanya kerja berjam-jam. Mulai dari menjaga bangsal, pelayanan darurat sampai melayani pasien dalam praktik khusus.

Satu orang dokter pun tidak hanya melayani pasien dalam hitungan jari, tetapi lebih dari itu. Beban kerja tiap dokter juga berbeda. Biasanya pada dokter spesialis, beban dan waktu kerjanya makin tinggi. Artinya, saat menulis pun mereka harus cepat. Karena itulah mereka tidak mungkin menulis secara rapi mengingat pekerjaannya membutuhkan waktu cepat. Semakin cepat menulis, waktu pun semakin efisien.

Secara tidak langsung, menulis cepat yang membuat tulisannya buruk menjadi kebiasaan dan diterapkan pada kehidupan sehari-hari di luar dunia medis.

Alasan-alasan itu nampaknya masuk akal, tetapi tidak bisa menjadi pembenaran. Balik lagi ke pernyataan di atas bahwa semakin tulisan tangan tidak terlihat peluang kesalahan semakin tinggi. Namun, di era digital masalah ini tidak lagi perlu dirisaukan. Sudah banyak pusat layanan kesehatan yang melakukan digitalisasi pelayanan, termasuk menulis diagnosa, membuat catatan medis, dan meresepkan obat.[]

Advertisement
Advertisement