October 10, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Khalifah Umar bin Khatab dan Khalifah Abu Bakar Memberi Teladan, Menjadi Pemimpin Harus Siap Dikritik

3 min read

JAKARTA – Sehebat apa pun seorang pemimpin, pasti tak luput dari kritik. Bahkan para khalifah besar dalam sejarah Islam, yang dikenal bijak dan adil, tak luput dari kritik dan teguran rakyatnya. Bagi banyak pemimpin, kritikan bisa menjadi ujian ego, bagaimana mereka merespons teguran tersebut.

Dikutip dari Nu Online, Sayyidina Umar bin Khattab memberikan teladan dalam merespons kritikan. Alih-alih marah atau merasa terancam, Umar menyikapi kritik dengan ketenangan dan kebesaran hati. Ketika ditegur atau dikritik oleh rakyatnya, ia tak pernah membalas dengan amarah, melainkan dengan kesantunan.

Sikapnya menunjukkan bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin terletak pada kemampuannya menerima kritik dengan lapang dada, kemudian membenahi kepemimpinannya.

Suatu hari di tengah khalayak ramai, Umar bin Khattab, sang Khalifah yang dikenal tegas namun adil, didatangi oleh seorang pria. Dengan lantang pria tersebut berseru, “Bertakwalah kepada Allah, wahai Umar!”

Seruan ini mengejutkan banyak orang di sekelilingnya. Sebagian dari mereka merasa bahwa Umar sebagai pemimpin yang dihormati tak sepatutnya diberi peringatan seperti itu di depan umum. Mereka hendak menyuruh pria itu diam, tetapi sebelum ada yang bertindak, Umar menghentikan mereka.

Dengan ketenangan yang khas, Umar menoleh dan berkata kepada mereka, “Tidak ada kebaikan pada kalian jika kalian tidak mengatakannya, dan tidak ada kebaikan pada kami jika kami tidak mendengarnya.”

Perkataan ini menyiratkan bahwa bagi seorang pemimpin, nasihat dan kritik dari rakyatnya adalah suatu hal yang harus diterima dengan lapang dada, bukan dianggap sebagai penghinaan.

Dalam kisah lain, Umar berdiri di mimbar untuk menyampaikan khutbah kepada umat. “Wahai manusia! Dengarlah dan taatilah!” serunya, memulai pidatonya.   Namun, tak lama setelah ia mulai berbicara, seseorang dari kerumunan menyela dengan tegas, “Kami tidak mau mendengar dan taat, wahai Umar!”

Suasana tegang sejenak. Umar yang biasanya disegani karena ketegasan dan kekuatan kepemimpinannya, tidak menunjukkan tanda-tanda tersinggung. Dengan tenang, ia bertanya, “Mengapa, wahai Abdullah?”

Pria itu menjawab, “Karena masing-masing dari kami hanya mendapatkan satu potong kain untuk menutupi aurat kami, sedangkan engkau mengenakan pakaian lengkap!” Orang-orang yang hadir sejenak terdiam, seolah terkejut dengan kejujuran yang dilontarkan di hadapan Umar.

Namun Umar tidak terpancing amarah. Dengan tenang, ia berkata, “Tetaplah di tempatmu.” Kemudian ia memanggil putranya, Abdullah bin Umar. Abdullah datang dan menjelaskan kepada orang banyak bahwa ia telah memberikan bagian kain miliknya kepada ayahnya, sehingga Umar bisa mengenakan pakaian lengkap.

Setelah mendengar penjelasan tersebut, para sahabat merasa puas. Orang yang tadi menginterupsi pidato Umar kini berubah sikap. Dengan penuh hormat dan khusyuk, ia berkata, “Sekarang, kami mendengar dan akan menaati, wahai Amirul Mukminin!” (Muhammad As-Shallabi, Umar bin Khattab Syakhsiyatuhu wa Ashruhu, [Suriah: Dar Ibni Katsir, 2009], halaman 109-110).

Dua peristiwa ini memperlihatkan keteladanan luar biasa dari Umar bin Khattab. Ia tidak hanya seorang pemimpin yang adil dan bijaksana, tetapi juga seseorang yang terbuka terhadap kritik, bahkan di hadapan orang banyak. Umar menunjukkan bahwa kekuatan seorang pemimpin bukan terletak pada kekuasaannya, melainkan pada kebijaksanaannya menerima masukan dan kritik dengan penuh kerendahan hati.

Lebih dari itu, Umar bin Khattab justru bersyukur dan berterima kasih jika ada yang berani menunjukkan kesalahannya. Sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Ghazali, Umar pernah berkata; Artinya: “Umar bin Khattab pernah berkata, ‘Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan kesalahanku” (Ihya ‘Ulumiddin, [Indonesia, Karya Thaha Putra: tt.], jilid III, halaman 62).

Sikap bijaksana juga ditunjukkan oleh Abu Bakar dalam merespons kritik dari masyarakat. Ia tidak hanya terbuka terhadap masukan, tetapi secara terbuka mendorong agar setiap keputusan dan tindakan yang diambilnya dikomentari dan dievaluasi. Hal ini tercermin dengan jelas dalam salah satu khutbahnya, dimana ia menyampaikan pesan penting tentang tanggung jawab kepemimpinannya:

Artinya: “Maka taatlah kepadaku selama saya taat kepada Allah SWT. Jika saya durhaka kepada-Nya dan rasul-Nya, maka jangan kalian taat kepada saya”. (As-Suyuthi, Jam’ul Jawami’, halaman 82).

Hal ini juga tercermin dalam pernyataan Sayyidina Abu Bakar yang dengan kerendahan hati menolak untuk melegitimasi dirinya sebagai yang terbaik di antara umatnya. Ia menegaskan bahwa kepemimpinannya bukanlah tanda superioritasnya, melainkan tanggung jawab yang diembannya dengan kesadaran penuh akan kekurangan diri.   []

Advertisement
Advertisement

Leave a Reply