Setiap Tahun, Rata-Rata Ada 80 Juta Bayi Diaborsi

JAKARTA – Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memaparkan tentang situasi kependudukan dunia tahun 2022. Data tersebut cukup mencengangkan, karena antara tahun 2015 hingga 2019 terjadi 121 juta kehamilan yang tidak direncanakan setiap tahunnya di dunia.
“Bayangkan, dari 2015 sampai 2019 setiap tahun 121 juta. Ini bukan angka yang sedikit,” kata Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Bonivasius Prasetya lchtiarto, di Jakarta, Jumat (29/07/2022).
Selain itu ditemukan fakta 257 juta perempuan, ternyata ingin menghindari kehamilan dengan tidak menggunakan alat kontrasepsi modern yang aman. Bahkan sekitar 40 persen yang aktif secara seksual di 40 negara, tidak menggunakan alat kontrasepsi apapun untuk menghindari kehamilan.
Data mengejutkan lainnya, lebih dari 60 persen, kehamilan tidak diinginkan akhirnya diaborsi. Sebanyak 40 persen di antaranya melakukan aborsi dengan tidak aman. Hal tersebut tentu sangat membahayakan ibu yang mengandungnya, hingga menyebabkan meninggal dunia.
“Bayangkan, jadi kalau ada 121 juta hampir kurang lebih 80-an juta (bayi) diaborsi,” terang Bonivasius.
Bagaimana dengan Indonesia?
Bonivasius menyampaikan, angka kehamilan tidak direncanakan di Indonesia juga cukup besar. Selama periode 2015 hingga 2019, terdapat 40 persen kehamilan tidak direncanakan di Indonesia.
“Jadi kalau dunia tadi 60 persen, Indonesia 40 persen. Kan lebih sedikit pak dibanding dunia, iya. Tapi 40 persen juga angka yang sangat besar” kata dia.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), lanjut Bonivasius, terdapat 200 juta kehamilan per tahun di Indonesia. Sebanyak 75 juta kehamilan atau 35 persen di antaranya, merupakan kehamilan tidak diinginkan.
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi kehamilan tidak diinginkan. Mulai dari faktor sudah banyak memiliki keturunan, istri masih dalam kontrak kerja, tidak mendapat dukungan suami, istri menggunakan kontrasepsi, hingga usia istri sudah terlalu tua.
“Pada kelompok remaja, kehamilan tidak diinginkan ditengarai oleh kasus-kasus perkawinan anak, minimnya pengetahuan kesehatan reproduksi, seks bebas, dan informasi dari media sosial yang tidak dapat dipertanggungjawabkan,” pungkasnya.[]