Tidak Jadi Dinikahi , PMI Asal Salatiga Ngamuk, Robohkan Rumah Hiyang Hiyangannya di Pati

SEMARANG – Long Distance Relationship, alias hiyang hiyangan jarak jauh seringkali berujung pada berpindah ke lain hati dan berpindah ke lain bodi. Antara kenyataan dengan harapan tidak sejalan, kekecewaan datang sebagai puncak dari klimaksnya sebuah hubungan.
Demikian ini sering sekali terjadi dan menimpa siapa saja yang terpisah jarak dan waktu dengan pasangannya, baik yang telah resmi menjadi suami istri, maupun yang masih hiyang-hiyangan.
Namun bukan berarti, hubungan jarak jauh selalu berakhir mengecewakan. Banyak juga pasangan yang mampu melewati tantangan dan godaan dari hubungan jarak jauh, hingga akhir yang indah bisa mereka rengkuh.
Bagi yang gagal, terlepas dari latar belakang, seringkali memunculkan konflik konflik, bahkan tak jarang melahirkan konflik fisik.
Seperti yang menimpa seorang pekerja migran Indonesia asal Salatiga atas nama Karsini (38) dengan hiyang hiyangannya yang merupakan warga Pati atas nama Sumadi (44) kali ini.
Bermula dari publikasi yang dilakukan oleh akun tik tok @paiho, perselisihan antara Karsini dengan Sumadi meledak menjadi konsumsi publik.
Karsini nekat merobohkan sebuah rumah yang dibangun dan ditinggali oleh Sumadi lantaran, Sumadi memilih menikahi perempuan lain dan tidak jadi menikahi Karsini. Padahal, antara Karsini dan Sumadi sudah menjalin hubungan hiyang hiyangan sejak tiga tahun belakangan.
Dan selama hubungan mereka berlangsung, Karsini telah memberikan uang sebanyak Rp. 250 juta kepada Sumadi.
Saat beberapa awak media melakukan penelusuran ke lokasi pada Jumat (16/08/2024) kemarin, peristiwa tersebut ternyata nyata adanya.
Sumadi merupakan warga desa Terteg Kecamatan Puncakwangi Kabupaten Pati Jawa Tengah. Di desa tersebutlah, TKP pembongkaran rumah berada.
Desa Terteg, Kecamatan Pucakwangi, berjarak sekira 27 kilometer ke arah Tenggara dari Alun-Alun Pati. Di lokasi, tampak bangunan rumah bercat warna-warni dominan kuning yang sudah jadi puing-puing.
Rumah berkonstruksi bata ringan (hebel) tersebut atapnya sudah hilang, yang tersisa tinggal tembok-tembok yang berlubang-lubang besar menganga.
Usut punya usut, dari keterangan yang dihimpun dari warga, Karsini dan Sumadi sebelumnya sudah menikah siri. Adapun Sumadi sendiri berstatus duda setelah istri sebelumnya wafat.
Karena dijanjikan akan dinikahi secara resmi, Karsini pun berani mengirim uang kepada Sumadi untuk membangun rumah. Total uang yang sudah dikirimkan Karsini mencapai Rp 250 juta.
Namun, Karsini baru tahu belakangan bahwa ternyata Sumadi sudah menikah secara resmi dengan perempuan lain.
Bahkan rumah yang dibangun dari uang yang dia kirimkan tersebut juga ditinggali Sumadi bersama istri barunya.
Karena itulah dia marah dan kecewa sehingga meminta uangnya dikembalikan. Karsini tidak meminta seluruh uangnya dikembalikan.
Dia hanya meminta Rp 100 juta. Namun, karena Sumadi tidak menyanggupi, akhirnya Karsini memilih merobohkan bangunan rumah tersebut.
Hal ini telah melalui kesepakatan kedua belah pihak. Bahkan kesepakatan tersebut dituliskan dalam surat pernyataan bermeterai yang ditandatangani oleh Sumadi, Karsini, dan Kepala Desa Terteg Nur Khamim.
Dalam surat bertanggal 10 Agustus 2024 tersebut, tertulis kata-kata “Rumah tembok yang sampai saat ini masih berdiri dan ditempati saudara Sumadi sepakat kami robohkan”.
Ditemui di kediamannya, Kades Terteg Nur Khamim mengatakan, awalnya dirinya tidak mau menandatangani surat tersebut.
“Tanggal 10 Agustus jam 9 malam ada tamu datang. Dia (Karsini) minta stempel dan tanda tangan (surat kesepakatan merobohkan rumah).”
“Saya baca di situ menyatakan bahwa Karsini merupakan istri Sumadi. Mengakunya nikah siri. Saya tidak berani tanda tangan karena status pernikahannya tidak resmi,” ucap Nur Khamim, Jumat (16/8/2024) siang.
Dia lalu meminta Sekretaris Desa untuk mengubah kata-kata dalam surat pernyataan tersebut.
Status “suami-istri” diubah menjadi “pernah menjalin cinta”. Hal ini untuk mengantisipasi konsekuensi hukum yang mungkin terjadi.
Setelah redaksional surat disesuaikan, barulah Khamim bersedia menandatangani surat kesepakatan antara Sumadi dan Karsini.
Dalam surat tersebut, tercantum bahwa Karsini merupakan warga Desa Semowo, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang.
“Dia bilang sudah kirim uang Rp 250 juta untuk membangun rumah sampai jadi.”
“Begitu tahu Sumadi sudah menikah, minta ganti rugi. Awalnya minta Rp 200 juta, turun jadi Rp 100 juta.”
“Karena tidak disanggupi, keduanya sepakat lebih baik rumah dirobohkan,” jelas Khamim.
Karena tindakan merobohkan rumah merupakan kesepakatan kedua belah pihak dan mereka sepakat membuat surat pernyataan bermeterai, Khamim selaku kepala desa pun tidak melakukan intervensi lebih lanjut. []