Dua Politisi PDIP Disebut Dapat Jatah Paling “Jumbo” dari Proyek Bansos, Tembus 3,4 Trilyun
JAKARTA – Dua orang Politisi PDI Perjuangan (PDIP) disebut memperoleh jatah jumbo dalam proyek pengadaan bantuan sosial 2020 yang angkanya mencapai hingga Rp 3,4 triliun.
Melansir investigasi Koran TEMPO edisi hari ini, Senin (18/1/2021) Dua Politisi PDIP itu ialah Herman Hery dan Ihsan Yunus. Keduanya diduga memperoleh kuota terbesar proyek bantuan sosial. Total nilai kuota keduanya Rp 3,4 triliun.
- Komisi Pemberantasan Korupsi menyelidiki keterlibatan Herman Hery dan Ihsan Yunus dalam kasus korupsi bantuan sosial 2020.
- Dua politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu diduga memperoleh jatah terbesar dalam proyek pengadaan barang bantuan untuk masyarakat yang terdampak pandemi.
- Sejumlah sumber yang mengetahui proses pengadaan bantuan menyebutkan, Ketua Komisi Hukum DPR RI Herman Hery melalui sejumlah perusahaan menguasai 7,6 juta paket senilai Rp 2,1 triliun.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelidiki keterlibatan Herman Hery dan Ihsan Yunus dalam kasus korupsi bantuan sosial 2020. Dua politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu diduga memperoleh jatah terbesar dalam proyek pengadaan barang bantuan untuk masyarakat yang terkena dampak pandemi Covid-19.
Sejumlah sumber yang mengetahui proses pengadaan bantuan tersebut menyebutkan Ketua Komisi Hukum DPR RI, Herman Hery, melalui beberapa perusahaan, menguasai 7,6 juta paket senilai Rp 2,1 triliun. Sedangkan Ihsan, Wakil Ketua Komisi Sosial DPR, memperoleh 4,6 juta paket senilai Rp 1,3 triliun.
Komisi antikorupsi menggeledah kantor perusahaan yang terafiliasi dengan keduanya sepanjang pekan lalu. Di antaranya kantor milik keluarga Herman di Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan.
Begitu juga rumah keluarga Ihsan Yunus di Jalan Hankam Raya, Jakarta Timur. Baik Herman maupun Ihsan membantah tuduhan terlibat korupsi bansos.
“Omong kosong,” kata Herman tentang nilai kuota bantuan Rp 2,3 triliun yang diperoleh perusahaannya.
Tempo menelusuri peran keduanya dalam pengadaan bansos. Secara garis besar, Herman dan Ihsan diduga berhubungan dengan Juliari Peter Batubara, Menteri Sosial pada 2019-2020 yang ditetapkan sebagai tersangka setelah anak buahnya ditangkap pada awal Desember 2020. Di level operasional, dua politikus itu kemudian diwakili orang-orang mereka.
Herman diwakili Teddy Munawar. Pada Mei tahun lalu, Teddy menemui Kepala Biro Umum Kementerian Sosial, Adi Wahyono, serta Sekretaris Direktorat Jenderal Perlindungan Jaminan Sosial Kementerian Sosial. Ia mengatakan mewakili Grup Anomali yang diutus Herman Hery.
Mereka membicarakan kuota bantuan distribusi tahap ketiga. Saat itu, Anomali meminta 350 ribu paket senilai Rp 165 miliar. Permintaan atas nama Hery itu disetujui dan segera dibuatkan surat perjanjian jual-beli.
Bulan berikutnya, Adi kembali memberikan kuota untuk Anomali sebanyak 500 ribu paket. Jatah perusahaan kembali meningkat untuk bantuan tahap 7-12 menjadi 1 juta paket per tahap. Bantuan disalurkan untuk daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Perusahaan lain yang diduga terafiliasi dengan Herman, PT Integra Padma Mandiri, juga mendapat proyek “receh”, yakni pengadaan masker dan cairan pembersih tangan senilai Rp 8 miliar pada Oktober 2020.
Ada dua perusahaan di bawah Grup Anomali yang memasok barang bantuan sosial, yakni PT Anomali Lumbung Artha dan PT Famindo Meta Komunika. Teddy tercatat sebagai pemilik saham Anomali Lumbung Artha dan komisaris Famindo.
Ia juga tercantum pada akta PT Mesail Cahaya Berkat. Anomali Lumbung Artha memperoleh 1,5 juta paket, Famindo 1,23 juta paket, serta Mesail 250 ribu paket. Ketiga kantor perusahaan itu digeledah KPK, pekan lalu.
Teddy belum membalas permintaan konfirmasi Tempo. Ia sudah diperiksa KPK pada pekan lalu. Selain Anomali, ada beberapa perusahaan lain yang diduga terhubung dengan Herman.
Menurut seorang sumber, perusahaan-perusahaan itu kemudian terhubung dengan perusahaan milik Hery, PT Dwimukti Graha Elektrindo. Perusahaan inilah yang diduga menjadi penyedia utama barang.
Komisi antikorupsi menggeledah kantor Dwimukti, 8 Januari lalu, yang beralamat di Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan. Namun tim KPK mendapati kantor itu kosong.
Menurut beberapa sumber informasi, kantor itu dikosongkan sehari setelah operasi penangkapan KPK terhadap pejabat pembuat komitmen, Matheus Joko Santoso, pada awal Desember 2020.
Herman Hery membantah pernah mengutus Teddy menemui kedua pejabat Kementerian Sosial. Ia juga mengaku tak mengenal Teddy. “Saya enggak kenal. Urusan pengusaha, ya, dengan pengusaha,” kata dia.
Herman mengakui Dwimukti berhubungan dengan Anomali. Ia mengatakan perusahaannya menjadi penyedia bantuan setelah mengikat kontrak dengan Grup Anomali.
Ketika wawancara, ia menunjukkan bukti kontrak ke Tempo, tapi meminta tidak dipublikasikan.
“Hubungan Dwimukti dan Anomali murni urusan bisnis,” kata anggota Dewan dari daerah pemilihan Nusa Tenggara II itu. “Mereka mengajukan surat penawaran pada 24 Juli, lalu keluar kontrak.”
Herman juga membantah mengatur proyek bantuan sosial. Ia hanya mengaku pernah diajak berdiskusi oleh Juliari soal bantuan yang berjalan lambat, sehingga sempat ditegur Presiden Joko Widodo. “Jangan lupa harga barang di pasar naik karena ada permintaan besar,” katanya.
Pengacara Adi Wahyono, Sirra Prayuna, mengatakan, “Saya belum bisa menjawab pertanyaan karena justru baru mendengar dari Anda soal ini.”
Selain Herman, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ihsan Yunus, disebut-sebut memperoleh kuota jumbo. Ia berhubungan dengan para pejabat Kementerian Sosial melalui dua perwakilannya, yakni Yogas dan Muhammad Rakyan Ikram, adiknya.
Ihsan sudah terbiasa terlibat dalam proyek di Kementerian Sosial. Ia, antara lain, memperoleh proyek pengadaan tenda untuk keperluan pertolongan bencana alam.
Proyek dalam bendera “Kemensos Hadir” dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Sosial. Perusahaan Ihsan disebut mendapat proyek 200 ribu tenda senilai Rp 40 miliar.
Untuk bantuan sosial, Ihsan, melalui sejumlah perusahaan, memperoleh 4,6 juta paket. Nilainya mencapai Rp 1,3 triliun. Ia menggunakan beberapa perusahaan, antara lain PT Andalan Pesik Internasional, PT Bumi Pangan Digdaya, PT Mandala Harmoni, dan PT Pertani.
Perusahaan-perusahaan itu, termasuk Pertani, yang merupakan badan usaha milik negara, diduga hanya memperoleh fee dari pemakaian bendera. “Sebagian tidak memiliki modal cukup untuk menggarap kuota dalam jumlah besar,” kata seorang sumber yang mengetahui proyek pengadaan bantuan.
Ihsan membantah terlibat dalam proyek bantuan sosial ini. “Enggak benar. Itu fitnah,” ujar dia.
Yang jelas, KPK telah menggeledah rumah Ikram di kawasan Cipayung, Jakarta Timur, dan Yogas di Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat. Begitu juga dengan kantor perusahaan yang terafiliasi dengannya.
Tempo menghubungi nomor kontak PT Mandala dan PT Bumi Pangan Digdana, tapi tidak ada jawaban. Komisaris Utama Pertani, Asep Sasa Purnama, tak merespons panggilan telepon Tempo. Asep adalah Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial.
Juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan lembaganya akan mengusut aliran uang kepada semua pihak yang terkait dengan proyek bantuan sosial.
“Kami akan cek alirannya ke mana,” kata dia. []
Sumber Tempo