Fenomena Migrasi Perawat Indonesia. Mengapa Lebih Memilih Bekerja di Luar Negeri?
JAKARTA – Mendengar kata luar negeri bukan lagi sekedar menarik perhatian masyarakat, tetapi menjadi suatu keinginan semua orang untuk bisa sekedar mengunjunginya.
Peningkatan Ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini memudahkan masyarakat untuk bisa mengakses informasi yang pada akhirnya menambah minat masyarakat untuk dapat mengekplorasi dunia.
Hal ini tidak terlepas dari dampak globalisasi yang sudah kita rasakan dan akan terus berkembang seperti saat ini.
Haryono (2017) mengatakan globalisasi telah menghapus batas-batas antar negara sekaligus mengurangi hambatan seperti biaya perpindahan yang tinggi, kondisi topografi, dan keterbatasan transportasi.
Penghapusan hambatan tersebut mempermudah individu untuk melakukan migrasi internasional. Dengan kata lain, globalisasi telah membuka peluang bagi masyarakat untuk berpindah antar negara, bahkan lintas benua, tanpa banyak kendala.
Fenomena Migrasi Perawat Indonesia
Perawat merupakan salah satu profesi yang berpeluang menjadi kebutuhan dunia saat ini. Dalam menjalankan program dunia seperti Universal Health Coverage (UHC) perawat menjadi sumber daya yang penting untuk menjamin seluruh masyarakat mempunyai akses mendapatkan pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang berkualitas.
Dimana pintu dunia yang terbuka memunculkan peluang besar bagi perawat untuk bisa berkarir di luar negeri dengan keuntungan yang bisa saja lebih menjanjikan.
Dikutip dalam Buku Saku Panduan Peluang Perawat ke Luar Negeri oleh Kementerian Kesehatan (2023) bahwa WHO (World Health Organization) menetapkan standar minimum tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan bidan) sebesar 4,45 per 1.000 penduduk dimana saat ini Indonesia telah melampaui ambang batas tersebut dengan rasio 5,4 per 1.000 penduduk.
Data ini didukung oleh jumlah perawat terdaftar yang memiliki STR (Surat Tanda Registrasi) hingga akhir 2022, yaitu sebanyak 1.327.325 orang, dengan 676.841 perawat yang masih aktif.
Selain itu, berdasarkan tren penerbitan STR baru, Kementerian Kesehatan mencatat rata-rata penerbitan sekitar 63.000 STR setiap tahunnya. Berdasarkan data SISDMK (Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan) per 28 Maret 2023, tercatat sebanyak 553.368 perawat bekerja di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan.
Dari jumlah tersebut, 349.750 perawat bertugas di 3.021 rumah sakit, 163.836 perawat di 10.439 puskesmas, dan 39.782 perawat lainnya tersebar di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Secara umum, ketersediaan perawat di Indonesia telah memenuhi kebutuhan penduduk melampaui target nasional. Selain itu, sebanyak 4.419 perawat telah diberdayakan di 13 negara tujuan selama periode 2019 hingga Maret 2023.
Namun pertanyaan yang muncul saat ini adalah apakah keinginan migrasi perawat tersebut merupakan keinginan perawat itu sendiri atau merupakan tuntutan yang harus dilakukan akibat kesejahteraan yang belum mereka dapatkan di negeri sendiri?
Perawat yang bekerja di rumah sakit dari total 65.646 di Indonesia, sekitar 28,4 persen di antaranya menerima gaji yang masih di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) di daerah masing-masing.
Hal ini menunjukkan bahwa 1 dari 4 perawat memiliki gaji yang lebih rendah dibandingkan dengan buruh yang mendapatkan gaji UMP di daerah mereka. Selain itu, survei tersebut juga mengungkapkan bahwa di beberapa provinsi masih terdapat perawat dengan gaji minimal sebesar Rp 50.000 per bulan.
Hal ini menunjukkan sangat minimnya perlindungan terhadap hak dari tenaga kesehatan (Santoso, dkk. 2021). Undang-undang terbaru, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan pasal 273 ayat 1 (c) menyebutkan tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berhak mendapatkan gaji/ upah, imbalan jasa, dan tunjangan kinerja yang layak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. PP No.28 thn 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan menjelaskan lebih detail bahwa gaji yang dimaksud diberikan sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa memang sampai saat ini belum ada jaminan upah/ jasa yang standar sesuai dengan kompetensi yang dimiliki oleh perawat sehingga pemberian jasa dibayarkan sesuai kesanggupan penyedia jasa layanan.
Dalam Pasal 246 dan 247 UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan juga telah mengatur pendayagunaan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing lulusan dalam negeri dan luar negeri.
Hal ini dapat menjadi tantangan berat bagi persaingan tenaga kesehatan dalam negeri. Perawat dituntut untuk meningkatkan kompetensi yang memiliki daya saing global agar tidak kalah dengan tenaga asing yang bisa masuk ke Indonesia dan menjadi pesaing dalam merebut karir yang lebih baik di Indonesia.
Jika dibandingkan dengan diluar negeri, data dalam Buku Saku Panduan Peluang Perawat ke Luar Negeri oleh Kementerian Kesehatan (2023) menjelaskan diluar negeri sendiri seperti Jepang, perawat mendapatkan upah dalam rentang ¥ 150.000 sd ¥ 200.000 (Rp. 16.539.915 – 22.053.220/bulan) serta mendapatkan tunjangan, bonus, dan uang lembur. Jika di Amerika Serikat, sekitar $28 – $50 per jam (9 – 14 jam/hari) (Rp. 414.149 – 739.552/jam) dengan rata-rata penghasilan sebesar $91.450/tahun (Rp. 1.352.641.522/tahun). Tentu saja angka ini dapat menarik perhatian perawat Indonesia untuk mencoba berkarir di luar negeri.
Namun bekerja diluar negeri juga pasti mendapatkan beberapa tantangan yang tidak mudah, seperti keterbatasan dalam penguasaan bahasa asing dan teknologi kesehatan, perbedaan standar uji kompetensi di setiap negara tujuan, dan persaingan ketat dari negara lain seperti Filipina yang juga menjadi pemasok tenaga perawat (Roesfitawati, 2018).
Hal ini bisa jadi menjadi pertimbangan perawat untuk mencoba bekerja diluar negeri karena persiapan yang juga butuh waktu dan dana yang besar. Namun kesejahteraan yang didapatkan menjadi motivasi perawat dalam menggapai mimpi mereka.
Hal ini tentu harus menjadi pertimbangan pemerintah karena pemerataan tenaga kesehatan dengan memfasilitasi tenaga kesehatan untuk bekerja diluar negeri juga dapat memberikan keuntungan bagi negara, namun pembenahan dalam regulasi untuk kesejahteraan perawat dalam negeri juga perlu dipertimbangkan.
Menanggapi fenomena tersebut, Kementerian Tenaga Kerja dan Organisasi profesi seperti PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) juga perlu mengusulkan standar upah minimum perawat berbasis kompetensi, pengalaman, dan tanggung jawab perawat.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan juga perlu memfasilitasi peluang kerja perawat ke luar negeri sebagai langkah untuk meningkatkan kontribusi tenaga kesehatan Indonesia secara global, seperti menyediakan program pelatihan bahasa dan budaya bagi perawat yang akan bekerja di luar negeri.
Disamping hal tersebut, pemerintah juga harus tetap memastikan kesejahteraan dan ketersediaan tenaga perawat yang memadai dan berkualitas di dalam negeri.
Pemerintah perlu membuka program beasiswa pendidikan berjenjang (D3 ke S1 dan seterusnya) untuk meningkatkan motivasi dan kompetensi perawat. Bukan tidak mungkin, akibat kesejahteraan dan atensi terhadap perawat yang tidak memadai di Indonesia, perawat Indonesia yang berkualitas dan kompeten memilih berkarir diluar negeri sehingga kualitas kesehatan di negeri sendiri berdampak buruk dimasa yang akan datang. []
Penulis : Ns. Mahmul Rivai Siregar, S.Kep
Peminatan Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan, Magister Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia